WARTA PAROKI BILOGAI.com – Beberapa minggu terakhir, khususnya di wilayah Papua Tengah, terjadi konflik vertikal antara aparat TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Kedua belah pihak bertahan dengan kepentingan dan intensi masing-masing. Lebih dari itu, terdapat pula aktor-aktor lain yang memiliki kepentingan tertentu dan justru memperkeruh konflik yang ada.
Dalam situasi ini, banyak korban berjatuhan, baik dari pihak TNI/Polri maupun TPNPB. Namun yang paling memprihatinkan adalah jatuhnya korban dari kalangan masyarakat sipil, baik Orang Asli Papua (OAP) maupun non-Papua. Akibat konflik berkepanjangan ini, banyak warga sipil terpaksa mengungsi ke tempat-tempat yang dianggap aman, bahkan hingga ke kota-kota terdekat, meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka.
Dalam tradisi OAP, meninggalkan tanah kelahiran dan tempat tinggal bukan sekadar berpindah tempat; hal ini berarti merosotnya roh hidup dan pegangan hidup mereka. Ini adalah luka batin yang dalam, yang hanya bisa dipahami secara utuh bila kita mengerti makna budaya dan spiritual yang melekat pada tanah bagi masyarakat Papua.
Tak hanya masyarakat sipil, banyak aparatur pemerintahan, pegawai swasta, dan tenaga pelayanan publik juga terpaksa meninggalkan tempat tugas mereka. Hal ini menyebabkan pelayanan publik lumpuh, dan tempat-tempat pengabdian pun kehilangan semangat dan makna karena ditinggalkan oleh mereka yang selama ini menghidupinya.
Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak untuk mengevaluasi kembali situasi ini dan mencari langkah-langkah inovatif guna memulihkan kedamaian. Rakyat Papua, khususnya di Papua Tengah, berhak untuk hidup aman dan damai di rumah dan tanah leluhur mereka. Mereka juga berhak mendapatkan layanan publik yang layak serta menjalani hidup yang bermartabat.
Untuk menyelesaikan konflik ini, semua pihak harus dilibatkan. Pemerintah, LSM, tokoh agama, tokoh perempuan, Majelis Rakyat Papua (MRP), serta pihak-pihak yang selama ini bertikai harus duduk bersama. Kehadiran mereka sangat dibutuhkan untuk merumuskan solusi berbasis dialog kemanusiaan, bukan kekerasan.
Sebagai inspirasi, kita dapat belajar dari beberapa tokoh besar dan ajaran gereja:
- Alm. Pater Neles Tebay, misionaris dan intelektual Papua, yang menekankan pentingnya menyelesaikan konflik melalui dialog damai agar tidak ada lagi korban dari rakyat sipil.
- Nelson Mandela, tokoh besar dari Afrika Selatan, yang dikenal karena perjuangannya menyelesaikan konflik dengan pendekatan budaya perdamaian dan rekonsiliasi, hingga diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
- Ajaran sosial Gereja Katolik, seperti ensiklik Pacem in Terris (Perdamaian di Bumi), menegaskan bahwa perdamaian sejati hanya bisa tercapai dengan dialog yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan bagi semua.
Ada beberapa usulan sebagai langkah konkret menuju perdamaian di Papua:
- Segera Hentikan gencatan senjata oleh TNI/Polri dan TPNPB. Konflik bersenjata hanya menghasilkan lebih banyak korban, termasuk masyarakat sipil yang tak bersalah.
- Hentikan kekerasan dan konflik yang telah merusak harta benda milik warga sipil, baik OAP maupun non-OAP.
- Pulihkan akses pendidikan, kesehatan, dan kehidupan berbudaya. Anak-anak Papua kehilangan masa depan karena sekolah tutup dan lingkungan tidak kondusif.
- Aktifkan kembali pelayanan publik oleh ASN di wilayah-wilayah pemekaran. Tanpa keamanan, semua visi dan misi pembangunan daerah menjadi sia-sia.
- Kurangi keterlibatan militer di sektor sipil seperti pendidikan, kesehatan, dan pemerintahan. Kehadiran TNI dalam fungsi-fungsi ini bisa memunculkan trauma kolektif bagi OAP yang masih mengingat pengalaman masa lalu.
Papua tidak akan pernah damai jika konflik diselesaikan dengan senjata. Satu-satunya jalan adalah dialog damai, yang menghargai martabat kemanusiaan, budaya lokal, dan hak hidup semua warga tanpa kecuali. Mari kita duduk bersama, membuka hati, dan menyusun masa depan Papua yang damai dan sejahtera bagi semua. (*)
Oleh : RD. Benny Magai