Kisah Iman OMK Wilayah Konflik Ikut PYD II di Nabire

Karpus
4 Min Read
Foto OMK Paroki Bilogai sebelum penjemputan Uskup Timika di Nabire, Papua Tengah

NABIRE,WARTAPAROKIBILOGAI.com  –  Di tengah bayang-bayang konflik yang melanda wilayah pegunungan Papua, ada secercah harapan yang menyala dalam hati anak-anak muda Katolik (OMK). Harapan itu begitu kuat, hingga sanggup mengalahkan rasa takut, lelah, dan segala ancaman bahaya. Cerita ini datang dari anak-anak OMK Dekenat Moni-Puncak salah satunya dua anak muda pemberani: Malek Ugipa dan Melkiana Dendegau, OMK dari Paroki St. Petrus Mbugulo.

Tahun ini, Keuskupan Timika menggelar Pertemuan OMK Dekanat (PYD) II di Nabire. Di tengah situasi daerah yang tak menentu akibat konflik bersenjata, tidak semua OMK bisa hadir. Hanya mereka yang siap dan berani yang diutus mewakili setiap paroki. Beberapa OMK dari daerah lain dapat menempuh perjalanan dengan pesawat melalui Nabire atau transit di Timika. Namun, bagi Malek dan Melkiana, tidak ada kemudahan itu. Mereka harus menempuh jalur yang tidak semua orang berani melaluinya.

Malek Ugipa dan Melkiana Dendegau, OMK dari Paroki St. Petrus Mbugulo (foto:Keuskupanagats.co.id)

Pada suatu pagi yang cerah, pukul 10.00 WIT, Malek dan Melkiana melangkah meninggalkan kampung halaman mereka, membawa hanya tas kecil berisi pakaian, rosario, dan semangat yang besar untuk bertemu sesama OMK se-Papua di Nabire. Mereka berjalan kaki menembus hutan belantara, melewati medan yang terjal, lembah, dan jurang tanpa ada kendaraan atau pengamanan.

Perjalanan hari pertama mengantarkan mereka bermalam di Kampung Gepelo, di tengah lebatnya hutan. Di malam yang sunyi, hanya doa dan keyakinan yang menjadi penguat mereka.

“Kami tahu ini tidak mudah, tapi ini untuk gereja dan untuk masa depan kami,” cerita Melkiana.

Keesokan harinya, sebelum fajar menyingsing, tepat pukul 05.00 WIT, mereka melanjutkan perjalanan menuju Kampung Komopa (Pasir Putih). Matahari bergerak perlahan di balik pegunungan, sementara langkah mereka tak pernah berhenti. Pukul 16.00 WIT, akhirnya mereka tiba di Kampung Komopa, kelelahan namun tetap tersenyum.

Perjalanan belum selesai. Dari Komopa, mereka harus menggunakan perahu Jonson menyeberangi danau menuju Enarotali, ibu kota Paniani. Ongkos perahu sebesar Rp 300.000 bukan jumlah yang kecil bagi mereka, tapi niat untuk hadir di PYD jauh lebih besar dari kekhawatiran akan uang.

Setibanya di Enarotali, mereka melanjutkan perjalanan darat selama 5 jam menggunakan mobil menuju Nabire. Meski tubuh mereka lelah, hati mereka penuh sukacita karena tujuan mereka semakin dekat.
Menurut Malek, jalan yang mereka tempuh adalah jalur pintas.

“Kalau lewat Sugapa, Ibu Kota Intan Jaya, bisa dua sampai tiga hari berjalan kaki, belum lagi sungai banjir, rintangan alam, bahkan situasi keamanan yang tidak menentu,” jelasnya.

Lalu kenapa mereka bersusah payah menempuh perjalanan berbahaya ini? Dengan tegas Malek menjawab, “Gereja Katolik adalah rumah tempat perlindungan kami, di tengah konflik yang terjadi, kami butuh pegangan, kami butuh harapan. PYD ini bukan sekadar acara, ini adalah momen memperkuat iman dan persaudaraan kami.”

Kisah Malek dan Melkiana menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa di balik keterbatasan, di tengah ancaman dan ketidakpastian, masih ada jiwa-jiwa muda yang berani melangkah untuk memperjuangkan imannya.

Semoga semangat mereka menginspirasi banyak OMK lainnya, bahwa ke Gereja bukan sekadar rutinitas, tetapi perjuangan dan pengorbanan demi kedamaian, persaudaraan, dan masa depan yang lebih baik.

Salam OMK! Tetap kuat, tetap beriman, tetap bergerak!

Share This Article
Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *