Berkembangnya dunia dan manusia nilai kedamaian dihadapkan dengan berbagai macam situasi kehidupan dan mengalami kemerosotan moral dan spiritual yang berdampak pada konflik horizontal dan konflik bersenjata yang kian bertambah subur mengesampingkan nilai kedamaian dan keadilan digeluti oleh kekerasan, penderitaan, penindasan, pembunuhan, pengungsian membuat damai yang diharapkan dan diimpikan terus-menerus dikhianati dan ditikam oleh berbagai arus kepentingan yaitu ekonomi, politik dan ideologi terus meningkat. Akhirnya nilai damai pun diambang moncong senjata membuat tatanan kehidupan manusia mengalami krisis hidup damai di zaman ini.
Konteks tulisan ini, berangkat dari kedamaian hidup manusia dikhianati oleh sesama manusia, demikianpun sama seperti Yesus yang dikhianati oleh Murid-Nya sendiri (lih. Luk 22:48), sehingga nilai damai pun ditikam oleh para kaum pengusaha yang seharusnya dijaga, dirawat, dipelihara dan dilindungi malah di ombang-ambingkan oleh sikap dan perilaku manusia menghadapkan pada penderitaan dan kemiskinan dalam hidup manusia di dunia ini. Artinya bahwa kedamaian dalam hidup diperoleh bukan dengan adanya perang dan menciptakan konflik, tetapi kedamaian akan hidup dan tumbuh subur ketika bersama-sama hidup dalam kasih persaudaraan dijaga, dihormati, dilindungi bersama demi nilai martabat setiap insan di dunia zaman ini.
Nilai Damai yang Terluka
Dalam konteks dama yang terluka ini bertolak dari Injil Yohanes dimana Yesus menegaskan bahwa; “Damai Kutinggalkan bagimu. Damai-Ku Kuberikan kepadamu” (lih. Yoh 14:27). Pesan Injil ini, dimana Yesus memberikan damai-Nya kepada setiap manusia supaya menjadi pelaku damai yang hidup ditengah-tengah dunia ini, karena Yesus bukan sebagai suatu ilusi, namun sebagai suatu anugerah yang benar-benar hadir melalui dan dalam Salib dan Penderitaan-Nya. Melihat situasi hidup didunia terlebih khusus di tengah-tengah masyarakat damai tidak hanya dilupakan, tetapi juga ditikam secara brutal. Paus Fransiskus dalam pesan Hari Perdamaian sedunia 2020 menekankan; Perdamaian adalah sebuah perjalanan penuh harapan yang bisa ditempuh melalui dialog, rekonsiliasi dan pertobatan, ekologis dan sosial. Namun berdasarkan realitas hidup manusia di zaman ini, kedamaian dan dialog di gantikan dengan propaganda, rekonsiliasi dengan pembalasan, dan pertobatan dengan eksploitasi alam secara brutal tanpa memandang dan melihat kehidupan tuannya, sehingga nilai damaipun ditikam
Paus Fransiskus (2020) melalui ensiklik Fratelli Tutti menekankan dengan tegas: “Setiap perang meninggalkan dunia lebih buruk daripada yang ditemukannya. Perang adalah kegagalan politik dan kemanusiaan, kekalahan yang memalukan, kekalahan di hadapan kekuatan dan kejahatan” (lih. FT 258). Artikel ini memberikan arti dan makna bahwa damai yang ditikam bukan hanya terjadi medan-medan perang terbuka, tetapi lebih juga terjadi dalam setiap kehidupan manusia sehari-hari yaitu mengalami ketidakadilan, ketimpangan, ujaran kebencian, iri hati, kecemburuan, kedengkian, hinaan, terus dibiarkan sehingga bertumbuh dan berkembang dalam setiap hati dan pikiran manusia terus meningkat membuat penindasan dan pembunuhan secara sistematik terus berlanjut, sehingga damai dalam hidup pun ditikam membawa penderitaan.
Secara kontekstual kita bisa melihat dan mendengar di seluruh Indonesia pada umumnya dan secara khusus di seluruh tanah Papua ini. Dimana nilai kedamaian hidup masyarakat dihadapkan dengan berbagai macam situasi konflik bersenjata maupun konflik horizontal dapat mengakibatkan tatanan hidup masyarakat sulit berkembang karena nilai damai diambang pintu kehancuran dan mengakibatkan perpecahan dalam hidup bersama, karena nilai damainya pun ditikam.
Panggilan Menjadi Pembela Damai
Paus Yohanes Paulus II melalui pesan Hari Perdamaian Sedunia 2002 menekankna seruan tentang kepada dunia; Keadilan dan pengampunan adalah jalan menuju damai yang sejati, bukan balas dendam atau dominasi. Maka Gereja dipanggil untuk menjadi tempat penyembuhan luka-luka konflik dan benteng harapan di tengah kehancuran. Pesan Paus ini mengingatkan kepada setiap orang bahwa semua dipanggil untuk membawa dan menghadirkan sukacita kedamaian dalam hidup bersama demi nilai martabat manusia. nilai hidup martabat dijaga dan dilindungi supaya damai yang diharapkan dapat di hidupkan di tengah-tengah situasi konflik bersenjata yang semakin memakan korban dan pengungsian.
Berdasarkan pembahasan di atas injil Matius mempertengahkan kedamaian hidup yang dihadirkan oleh Yesus sendiri kepada setiap manusia untuk: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (lih. Mrk 5:9). Perikop Injil ini, mengingatkan kepada semua orang tentang panggilan hidupnya untuk membawa kedamaian dan keadilan ditengah dunia yang sedang diancam, dibunuh, menderita, ditindas, disiksa ini. Oleh karena itu, setiap manusia melalui Gereja dipanggil untuk membawa kabar gembira dan damai bukanlah, artinya bahwa membawa damai bukan hal pilihan opsional, tetapi merupakan nilai identitas Kristiani.
Oleh karena itu, hal di atas merujuk pada pembaptisan dimana Roh Kudus persatukan setiap manusia melalui Gereja untuk menghadirkan dan mewartakan sukacita kedamaian dan keadilan ditengah situasi hidup manusia sebagai saudara dalam kasih. Ketika dalam situasi seperti ini, setiap orang adalah ahli waris pewarta nilai keadilan dan kedamaian dalam kasih serta dipanggil untuk menormalisasi terhadap situasi kekerasan, serta menjadi pembawa damai merupakan panggilan khusus kenabian yang menuntut keberanian dalam hidup bersama sebagai satu anggota Kristiani di tengah-tengah dunia yang berkonflik senjata dan nilai damai ditikam ini.
Damai yang Dilahirkan Oleh Yesus Melalui Salib
Nilai damai harus diperjuangkan dalam setiap kehidupan manusia demi nilai kasih dan kedamain bagi setiap manusia di dunia ini. Damai dilahirkan ketika martabat manusia dijunjung tinggi dalam kehidupan ini, karena sebuah keadilan dan damai menjadikan lahan subur bagi nilai damai. Dalam konteks ini, Paus Benediktus XVI (2005) dalam homili Jumat Agung menegaskan bahwa Salib bukanlah kegagalan, tetapi kemenangan kasih yang merangkul dunia dengan penuh kasih.
Pesan paus ini lebih jauhi ditekankan dalam Injil Yohanes Yesus tampil sebagai raja damai yang rela ditikam demi menyelamatkan dunia (lih. Yoh 19:34), dan melalui luka-luka-Nya menampilkan sumber kasih dan damai yang dapat menyembuhan setiap hati manusia yang terluka. Oleh karena itu, damai yang sejati akan melahirkan sumber kasih yang bersediah untuk dapat menyembuhkan luka yang menderita, dan bukan dari logika kekuasan di tengah dunia yang haus sikap balas dendam. Namun ditengah dunia yang dipenuhi oleh ketidakadilan dan penderitaan ini, setiap manusia dipanggil sebagai pengikut sejati untuk menghadirkan, menciptakan dan menghadirkan kedamaian, pengampunan, dan membuka ruang dialog serta rekonsiliasi di tengah-tengah dunia ini secara terbuka dan adil.
Menjadi Saksi Damai di Tengah Kekerasan
Keterlibatan Gereja dalam kehidupan manusia di tengah-tengah dunia yang dipenuhi oleh kekerasan merupakan panggilan untuk memperjuangkan perdamaian. Hal ini dimana dokumen Konsili Vatikan II melalui Lumen Gentium menegaskan bahwa Gereja dipanggil untuk mewartakan tentang keselamatan Allah Bapa yang menghendaki dan mengangkat manusia untuk berpartisipasi dalam hidup Ilahi (lih. LG 2). Oleh sebab itu, Misi Allah Bapa (Missio Dei) disebut juga misi keselamatan (Bdk. Tebay 2015:81).
Oleh karena itu, kehadiran Gereja di wilayah konflik bukan tujuan memperkuat salah satu pihak, namun hadir untuk menjadi tanda, sarana dan harapan bagi sesama manusia yang menderita demi nilai kedamaian dan keselamatan hidup. Berdasarkan dengan konteks ini, Paus Fransiskus dalam suatu kunjung kasih apostolik ke Irak (2021) menekankan bahwa; Kita tidak bisa berdiam diri ketika umat manusia menderita karena konflik. Agama harus menjadi jembatan, bukan tembok. Pesan Paus ini mengajak setiap anggota Gereja untuk mendorong dialog damai, menolak semua bentuk logika permusuhan dan kekerasan, dan menolak semua konflik bersenjata maupun konflik horizontal. Pandangan Paus ini, mengarah pada panggilan hidup semua orang untuk memperjuangkan nilai-nilai keadilan, kedamaian, menjadi pelaku rekonsiliasi, membina dan membangun generasi muda dengan penuh semangat dalam hidup kasih, itulah tujuan utama panggilan semua orang melalui Gereja.
Ketekunan dan Doa
Dalam sejarah kehidupan manusia membutuhkan dan merindukan kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam hidup bersama sebagai satu komunitas hidup manusia. Dan damai yang ditikam tidak akan mati, karena harapannya tidak pernah mati dalam diri Yesus Kristus sejati. Sama seperti benih yang jatuh ke tanah, damai akan bertumbuh kembali jika dijaga, dipelihara, dirawat, dilindungi, dipupuk dengan doa berdasarkan tindakan nyata. Artinya bahwa hidup ini, perlu ada nilai ketekunan diri dalam doa sebagai sumber keselamatan hidup, dan menjauhkan diri dari setiap kejahatan demi nilai kedamaian. Sebagaimana ditekankan dalam Mazmur; “Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan berusahalah mendapatkannya!” (lih. Mzm 34:15). Pesan Mazmur ini merupakan inti dari sekadar seruan moral, tetapi panggilan eksistensial yang dapat membangun pondasi damai di tengah-tengah reruntuhan kekerasan hidup ini. Oleh karena itu, dimana ajaran Gereja melalui Katekismus Gereja Katolik (KGK) menekankan pada aspek damai menjadi nilai dasar yang menuntut pelaksanaan prinsip dasar kehidupan sosial dan sekaligus penghayatan atas kebijakan yakni perilaku moral yang bersepadan dengan nilai-nilai tersebut (Bdk. KGK 1886), menuntut nilai keadilan dan kedamaian sejati.
Nilai-nilai yang dimaksud di atas adalah keadilan, kedamaian, kebebasan, kebenaran, dan nilai cinta kasih yang merupakan puncak dan dasar bagi setiap hidup manusia untuk membangun kehidupan bersama sebagai satu anggota komunitas Kristiani. Dengan demikian semua nilai-nilai di atas mengarah pada sumber cinta kasih yang bersumber pada perintah Yesus Kristus sendiri yaitu mengasihi Allah dan sesama manusia (lih. Yoh 13:35). Perikop Injil ini, menekankan bahwa setiap manusia dipanggil dan diajak supaya nilai-nilai diatas dapat diwujudkan dalam dunia ini sebagai tempat yang sesuai dan dapat membangun kerajaan-Nya dengan penuh kasih dan sukacita melalui doa. Dalam konteks ini, Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si bahwa perlunya pendekatan sosial yang harus yang harus mengintegrasikan soal keadilan dalam lingkungan hidup manusia untuk mendengarkan baik jeritan bumi maupun jeritan kaum miskin (lih. LS 49). Maka itu, pentingnya membangun keadilan sosial, menebarkan perdamaian, mengutamakan kepentingan mereka yang sangat membutuhkan dengan mempromosikan martabat manusia (Bdk. Arah dasar PSE-KWI 2018-2022: 43-44).
Penutup
Dalam situasi kehidupan manusia di zaman ini ditandai oleh berbagai macam persoalan, perlunya kebangkitan damai. Namun, kenyataannya yang terjadi nilai damainya terus ditikam dan damainya diambang moncong senjata terus meningkat. Hal ini merupakan suatu kenyataan hidup manusia yang menyakitkan. Sama halnya seperti Yesus yang bangkit dengan luka yang masih terbuka, dunia pun bisa bangkit dari kekerasan, penderitaan, penindasan, intimidasi dan ketidakadilan, sehingga sulit dapat menyembuhkan luka-lukanya dengan kasih dan damai. Artinya bahwa setiap tindakan kecil untuk perdamaian dari kata yang lemah lembut hingga keputusan untuk memaafkan adalah bagian dari kebangkitan damai itu sendiri menjadi runtuh akibat nilai damainya ditikam.
Dalam konteks ini, Paus Fransiskus melalui ensiklik Fratelli Tutti (2020) artikel 248 menegaskan sebuah ajakan kepada setiap manusia di dunia ini dengan seruan bahwa: “Semoga Allah menanamkan dalam hati semua orang semangat persaudaraan yang sejati. Semoga Dia memberikan kepada kita visi dunia yang baru, di mana perdamaian dan persaudaraan menjadi realitas”. Dengan demikian, biarlah damai yang ditikam itu disembuhkan oleh cinta yang setia, oleh keadilan yang rendah hati, dan oleh iman yang tak tergoyahkan kepada Sang Raja Damai. Dan saling memperhatikan kondisi kehidupan bersama dan menghadirkan nilai keadilan, kedamaian, persaudaraan, dan kesatuaan hidup bersama dan menjunjung tinggi nilai damai sebagai dasar hidup bersama sebagai satu keluarga yang bersumber pada kasih.
Daftar Pustaka
- Alkitab (LAI, Terjemahan Baru) (2005). Lembaga Alkitab Indonesia. Jakarta: LAI.
- Paus Fransiskus (2020). Fratelli Tutti (Tentang Persaudaraan dan Persahabatan Sosial). Vatikan.
- Paus Fransiskus (2019). Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Perdamaian Sedunia 2020: Perdamaian sebagai Jalan Pengharapan: Dialog, Rekonsiliasi dan Pertobatan Ekologis. Vatikan, 8 Desember.
- Paus Yohanes Paulus II (2001). Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia 2002: Tidak Ada Perdamaian Tanpa Keadilan, Tidak Ada Keadilan Tanpa Pengampunan. Vatikan, 8 Desember.
- Paus Benediktus XVI (2005). Homili Jumat Agung, 25 Maret . (Teks tersedia dalam arsip Vatikan).
- Dokumen Konsili Vatikan II (1965).Gaudium et Spes (Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini). Vatikan.
- Katekismus Gereja Katolik (1996). Edisi Resmi. Jakarta: Obor.
- Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian (2004). Compendium of the Social Doctrine of the Church. Vatikan.
- Benediktus XVI (2009). Caritas in Veritate. Ensiklik tentang kasih dalam kebenaran, Vatikan.
- Paus Fransiskus (2021). Kunjungan Apostolik ke Irak-Pidato di Mosul dan Erbil, 5-7 Maret.
Penulis : Fr. Yuven Migani Belau